Minggu, 26 Juni 2011

BAB II KAJIAN TEORI


BAB II
LANDASAN TEORI

A.   Pengembangan Kurikulum SLB
Menurut Psikolog dari sekolah khusus "Mandiga" di Jakarta, Puspita (2000 : 8), ”kurikulum pendidikan khusus harus dibuat berbeda-beda untuk setiap individu”. Mengingat setiap anak berkebutuhan khusus memiliki kebutuhan berbeda, maka teori pengembangan kurikulum anak berkebutuhan khusus yang tepat adalah dengan menggunakan pendekatan grass roots dengan model demonstrasi.
 Isi dari model pengembangan ini menurut Smith (Prasetya: 2009:15)  ’Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum,  datang  dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah’. Model grass roots akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam model pengembangan yang bersifat grass roots seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen kurikulum. Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya.


Sukmadinata (2008:162), menjelaskan pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.

 Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa pengembangan kurikulum Model Grass Roots bersifat operasional, karena guru didorong untuk bekerja secara kooperatif dalam merencanakan kurikulum baru. Dorongan terjadi bila administrator menyediakan kepemimpinan, waktu bebas, material dan rangsangan lain yang bersifat kondusif terhadap perencanaan kurikulum.

B.   Pengertian Pengembangan kurikulum
  Menurut Hamalik (2007:183),  bahwa pengembangan kurikulum adalah ”proses perencanaan kurikulum agar menghasilkan rencana kurikulum yang luas dan spesifik”. Proses ini berhubungan dengan seleksi dan pengorganisasian berbagai komponen situasi belajar mengajar, antara lain penetapan jadwal pengorganisasian kurikulum  dan spesifikasi tujuan yang disarankan, mata pelajaran, kegiatan, sumber dan alat pengukur pengembangan kurikulum yang mengacu pada kreasi  sumber-sumber unit, rencana unit, dan garis pelajaran kurikulum ganda lainnya.
   Sedangkan Sukmadinata (2008:150), mengemukakan ”pengembangan kurikulum merupakan penyusunan rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman belajar  yang disediakan bagi siswa di sekolah”, rancangan ini disusun dengan maksud memberi pedoman kepada para pelaksana pendidikan, dalam proses pembimbingan perkembangan siswa, mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh siswa sendiri, keluarga, maupun masyarakat.
Unruh dan Unruh (Hamalik, 2009:98) mengemukakan definisi pengembangan kurikulum sebagai: ‘curriculum Development: problems process, and progress is aimed  at contemporary  circumtances and  future projections’. Sesuai dengan pengertian ini pengembangan kurikulum tidak hanya  merupakan berbagai abstraksi  yang sering kali mendominasi  penulisan kurikulum, akan tetapi mempersiapkan berbagai  contoh dan alternative untuk tindakan yang merupakan  inspirasi dari berbagai ide  dan penyesuaian-penyesuaian lain  yang dianggap penting.
Berdasarkan urian diatas dapat disimpulkan bahwa pengembangan kurikulum  adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar  yang dimaksudkan untuk membawa  siswa kearah perubahan-perubahan  yang diinginkan dan menilai sampai sejauh mana  perubahan-perubahan itu  telah terjadi pada diri siswa,   pengembangan kurikulum  merupakan proses siklus, yang tidak pernah berakhir.

C.      Mekanisme Pengembangan Kurikulum
Proses pengembangan kurikulum mempunyai rambu-rambu yang harus dipenuhi dengan seksama agar diperoleh kurikulum pembelajaran yang benar-benar efektif dalam pembelajaran anak tunagrahita. Hamalik (2008:142), mengemukakan mekanisme pengembangan kurikulum yang dapat dilaksanakan oleh guru dan pihak sekolah yaitu:

Tahap 1: studi kelayakan dan kebutuhan, pengembang kurikulum melakukan kegiatan analisis kebutuhan program dan merumuskan dasar-dasar pertimbangan bagi pengembangan kurikulum. Tahap 2: Penyusunan konsep awal  perencanaan kurikulum. Tahap 3: Pengembangan rencana untuk melaksanakan kurikulum. Tahap 4: Pelaksanaan uji coba kurikulum dilapangan.. Tahap 5: Pelaksanaan kurikulum. 6: pelaksanaan penilaian dan pemantauan kurikulum. Tahap 7: Pelaksanaan perbaikan dan penyesuaian.

Berdasarkan uraian tersebut proses pengembangan kurikulum yang dimulai dari studi kelayakan sampai pelaksanaan perbaikan dan penyesuaian menurut hemat penulis mekanisme tersebut dapat dilakukan oleh guru bersama-sama orang tua dan sekolah dalam penyusun sebuah kurikulum operasional bagi pembelajaran anak tunagrahita di SLB.

D.      Anak Tunagrahita
Anak tunagrahita adalah kondisi anak yang kecerdasannya jauh dibawah rata rata yang ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidak cakapan dalam interaksi social. Anak tuna grahita atau dikenal juga dengan istilah terbelakang mental karena keterbatasan kecerdasannya sukar untuk mengkuti program pendidikan disekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu anak terbelakang mental membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus, yakni disesuaikan dengan kemampuan anak itu.
Untuk memahami anak tuna grahita atau terbelakang mental ada baiknya memahami terlebih dahulu konsep Mental Age (MA). Mental age adalah kemampuan mental yang dimiliki oleh seorang anak pada usia tertentu. Sebagai contoh anak yang berumur 6 tahun akan memiliki MA 6 tahun. Jika seorang anak memiliki MA lebih tinggi dari umurnya (Cronology Age), maka anak tersebut memiliki kemampuan mental atau kecerdasan diatas rata rata. Anak tunagrahita selalu memiliki MA lebih rendah CA-nya secara jelas. Misalnya anak normal mempunyai IQ 100, maka anak tunagrahita mempunyai IQ 70 yaitu ia mengalami keterlambatan 2 x 15 = 30 maka diperoleh IQ 70 tersebut.
Penyesuaian perilaku maksudnya saat ini seorang dikatakan tunagrahita bukanlah hanya dilihat IQ-nya akan tetapi perlu dilihat sampai sejauh mana anak ini dapat menyesuaikan diri. Jadi bila anak ini dapat menyesuaikan diri maka tidaklah lengkap ia dipandang sebagai anak tunagrahita. Terjadi pada masa perkembangan maksudnya bila ketunagrahitaan ini terjadi setelah usia dewasa maka ia tidak tergolong tunagrahita. Menurut Grossman (Astati,2010:9), “tunagrahita mengacu kepada fungsi intelek umum yang nyata berada dibawah rata-rata bersamaan dengan kekurangan dalam adaptasi tingkah laku dan berlangsung dalam masa perkembangan.”

E.   Konsep Pembelajaran Bermakna
Contekstual Learning (CTL) sebagai salah satu konsep pembelajaran bermakna merupakan “konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat”.( Dimyati dkk, 199:45)
Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan menyadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna sebagai hidupnya nanti. Sehingga, akan membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk menanggapinya.
Menurut Depdiknas (2003: 5) ” Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan perencanaan dalam kehidupan mereka sehari – hari”.
Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Guru hanya mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru bagi siswa. Proses belajar mengajar lebih diwarnai Student

F.   Wirausaha Pertanian
Pendidikan kewirausahaan bagi anak tunagrahita, menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah, karena itu pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (Buchari, 2003 :1). Pada umumnya sekolah sebagai lembaga pendidikan dan merupakan pusat kegiatan belajar mengajar dijadikan tumpuan dan harapan orang tua, keluarga, masyarakat, bahkan pemerintah. Karena itu, sekolah senantiasa memberikan pelayanan pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang bersifat ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), pembentukan sikap dan keterampilan bagi peserta didik termasuk sikap mental wirausaha. Dalam praktik di sekolah, untuk menanamkan nilai-nilai kewirausahaan pada peserta didik ada beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain:
1. Pembenahan dalam Kurikulum
Pembenahan kurikulum dalam rangka menginternalisasikan nilai- nilai kewirausahaan pada anak tunagrahita yang mampu membentuk karakter wirausaha pada peserta didik dapat dilakukan dengan cara melengkapi materi kurikulum yang telah ada ataupun mendesain kurikulum yang baru sesuai dengan krakteristik anak dan keunggulan daerah misalnya keunggulan pertanian, dan mengintegrasikan nilai-nilai wirausaha kedalam silabus dan RPP.
2. Peningkatkan Peran Sekolah dalam Mempersiapkan Wirausaha.
Hakikat persiapan manusia wirausaha adalah dalam segi penempaan karakter wirausaha. Dengan perkataan lain, persiapan manusia wirausaha terletak pada penempaan semua daya kekuatan pribadi manusia itu untuk menjadikannya dinamis dan kreatif, di samping mampu berusaha untuk hidup maju dan berprestasi. Manusia yang semacam itu yang menunjukkan ciri-ciri wirausaha. Salah satu ciri manusia wirausaha adalah memiliki ciri-ciri kepribadian yang kuat. Untuk dapat menginternalisasikan nilai-nilai kewirausahaan pada diri peserta didik diperlukan peran sekolah secara aktif. Misal, guru akan menerapkan integrasi nilai kreatif, inovatif, dan berani menanggung resiko dalam pembelajaran.



3. Pembenahan dalam Pengorganisasian Proses Pembelajaran.
Pembelajaran di Indonesia telah mengalami berbagai macam pembaharuan, termasuk juga dalam pengorganisasian pengalaman belajar peserta didik.  Agar peserta didik mengalami perkembangan pribadi yang integratif, dinamis dan kreatif, ada pembenahan lebih lanjut dalam hal pengorganisasian pengalaman belajar peserta didik. Hal ini tidak berarti bahwa pengorganisasian yang sudah berlaku di sekolah itu harus ditinggalkan.  
Pengorganisasian yang sudah ada biar berlangsung terus, yang penting perlu dicari cara pengorganisasian lain untuk menunjang proses pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk aktif belajar dari pengalaman hidup sehari-hari di dalam masyarakat. Selain itu alternatif lain untuk mengembangkan organisasi pengalaman belajar peserta didik adalah pelaksanaan pembelajaran yang berbasis kearifan local dan pengalaman hidup anak. Sebagai contoh pada pembelajaran pertanian, anak dilatih keterampilan untuk memproduksi. Selanjutnya, hasil produksi dititipan dalam unit produksi di sekolah untuk digunakan sebagai latihan menjual pada saat penyampaian materi distribusi. Bentuk ini bukanya mengganti pengorganisasian yang sudah ada melainkan sebagai variasi pengalaman belajar peserta didik.
4.  Pembenahan pada Diri Guru
Sebelum guru melaksanakan pembelajaran di kelas dengan mengintegrasikan nilai-nilai kewirausahaan, terlebih dahulu guru juga dilatih kewirausahaan terutama yang terkait dengan penanaman nilai-nilai dan ketrampilan/skill wirausaha. Akan lebih baik lagi jika guru juga memiliki pengalaman empiris di dalam mengelola bisnis usaha.
Pendidikan kewirausahaan juga bisa dilaksanakan melalui kegiatan ekstrakurikuler, yang melatih peserta didik mengembangkan usaha yang terkait dengan bakat dan minat peserta didik. Peran guru adalah mengkomunikasikan potensi dan cita-cita secara jelas sehingga dapat menginspirasi setiap peserta didik untuk dapat melihat jiwa kewirausahaan dalam dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar